
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi (Perludem) jadi penggugat uji materi terhadap Pasal 182 huruf g UU Pemilu ke MK.
Perludem menyebut jika pasal tersebut mengatur persyaratan calon anggota DPD tidak pernah dipidana penjara dengan ancaman pidana penjara di atas lima tahun dan mengemukakan kepada publik secara terbuka sebagai mantan narapidana.
Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil menilai tak adanya ketentuan jeda masa lima tahun selepas dari bui membuat banyak koruptor bakal mendaftar menjadi calon senator.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Adapun yang menjadi basis argumentasi kami dalam menjelaskan dan menguraikan permohonan ini ada empat, yakni mengenai kontestasi politik dan masifnya politik uang,” tegas Fadli dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Senin, 6 Februari 2023.
Fadli menyebut seluruh pihak pasti menyepakati bahwa proses penyelenggaraan pemilu mesti dilaksanakan secara demokratis sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia dan adil.
“Tetapi dalam perkembangannya proses penyelenggaraan pemilu masih belum sepenuhnya bebas dari praktik korupsi. Dan data dari KPK misalnya tahun 2018 pejabat politik atau pejabat yang dipilih melalui proses pemilu atau politik menjadi yang tertinggi yang terjebak dalam kasus korupsi,” ungkapnya.
“Salah satu yang menjadi penyebab banyaknya pejabat politik yang dipilih melalui proses pemilu yang terjebak karena tingginya biaya politik yang harus dijalani oleh peserta pemilu,” tambah Fadli.
Fadli membeberkan pentingnya persyaratan calon bagi kandidat anggota DPD karena rentan terjebak praktik koruptif.
Fadli juga mengatakan syarat calon anggota DPD masih terbatas pada hanya mantan terpidana disyaratkan untuk secara terbuka dan jujur mengumumkan statusnya kepada publik. Tapi tak ada aturan masa jeda lima tahun yang harus dijalani oleh mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Padahal jangka waktu lima tahun ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kemudian memberikan ruang bagi mantan terpidana untuk beradaptasi kembali kepada masyarakat untuk kepentingan yang lebih luas.
“Masa tunggu ini penting untuk memberikan efek jera sekaligus daya cegah kepada pejabat politik yang kemudian dipilih melalui proses pemilu untuk berhati-hati agar tidak melakukan praktik tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan jabatan yang dipegang,” paparnya.
Hal itu penting lantaran pemilihan anggota DPD dipilih melalui proses pemilu atau dipilih langsung oleh masyarakat. Sehingga masyarakat berhak mendapatkan calon anggota DPD yang punya rekam jejak dan integritas baik.
Maka dari itu, Fadli mengemukakan pentingnya ada kerangka hukum yang membuka ruang dan kesempatan bagi calon peserta pemilu yang punya integritas.
Fadli pun dalam petitum provisinya meminta MK untuk menjadikan permohonan ini sebagai prioritas dalam pemeriksaan.
Menanggapi itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta pemohon menguraikan dalil kerugian baik secara aktual maupun potensial terkait dengan lingkup kerja Pemohon di bidang advokasi, khususnya menyangkut DPD.
“Selain itu, ada atau tidaknya caleg atau yang mendaftar merupakan mantan narapidana. Akan lebih kuat kalau itu apakah tersedia data informasinya, coba nanti dilengkapi,” ujar Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon untuk memberikan pandangan kepada MK mengenai permohonannya. Sebab permohonan Perludem kali ini berbeda dengan Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022.
“Kemudian, di dalam pertimbangan meminta provisi. Itu kan tahapan-tahapan tentang pendaftaran telah berjalan. Apakah bisa putusan ini menjangkau hal-hal yang sifatnya sudah berjalan?,” ujar Suhartoyo.
Pemohon nantinya diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Berkas perbaikan permohonan harus dikembalikan ke MK paling lambat Senin, 20 Februari mendatang.
Sumber